Sabtu, 25 Oktober 2008

Akhlak Seorang Pemimpin

Suatu masyarakat dan bangsa akan disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang maju manakala memiliki peradaban yang tinggi dan akhlak yang mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat sederhana. Sedangkan pada masyarakat dan bangsa yang meskipun kehidupannya dijalani dengan teknologi yang modern dan canggih, tapi tidak memiliki peradaban atau akhlak yang mulia, maka masyarakat dan bangsa itu disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang terbelakang dan tidak menggapai kemajuan.

Untuk bisa merwujudkan masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan akhlak yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan:

"Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku."

Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki tujuh sifat sebagai bagian dari akhlak yang mulia.


1. Tawadhu.

Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.

2. Menjalin Kerjasama.

Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: “maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku”. Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya: Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS 5:2).

Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian,sehebar apapun dirinya. Karenanya Rasulullah Saw telah menunjukkan kepada kitabagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik, mulai dari membangun masjid diMadinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam suatupeperangan yang kemudian disebut dengan perang Khandak, Rasulullah menerima dan melaksanakan pendapat Salman Al Farisi untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali parit.

3. Mengharap Kritik dan Saran.

Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: “Bila aku bertindak salah, betulkanlah”.

Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak.

4. Berkata dan Berbuat Yang Benar.

Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt, hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan: Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat.

Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.

5. Memenuhi Hak-Hak Rakyat.

Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pisato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: “Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah”.

Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.

6. Memberantas Kezaliman.

Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: “Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah”.

7. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.

Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: “Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”.

Dengan demikian, ketataan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah yang tidak menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu (QS 4:59).

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa penting bagi kita untuk memiliki pemimpin dengan akhlak yang mulia. Kerancuan dan kekacauan dengan berbagai krisis yang melanda negeri kita dan umat manusia di dunia ini karena para pemimpin dalam tingkat nagara dan dunia tidak memiliki akhlak seorang pemimpin yang ideal. Karenanya, saat kita memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan di masyarakat jangan sampai memilih mereka yang tidak berakhlak mulia. wallohu a'lam.

Selengkapnya »»

Rabu, 22 Oktober 2008

Firasat Seorang Mukmin

Dahulu ada seorang Ahli Kitab yang menyamar sebagai seorang muslim dan berusaha mencari-cari kesalahan umat Islam. Berbagai majelis pengajian pun telah ia datangi. Di sana, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cukup pelik bahkan yang bersifat khilafiyah sehingga cukup menyulitkan bagi sang ustadz untuk menjawabnya. Beberapa kali, memang, ia telah berhasil "memojokkan" ulama-ulama dalam pertanyaannya. Diam-diam, sang Ahli Kitab pun merasa bangga, karena ternyata para ulama yang ia jumpai tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya di hadapan jamaahnya.

Pada suatu hari, ia menghadiri majelis seorang ulama yang saleh. Para jamaah pun juga terlihat banyak. Momen yang baik itu segera ia gunakan untuk 'menjajaki' kemampuan sang ulama dengan mengajukan pertanyaan: "Wahai Tuan Guru, apakah makna sabda Nabi Muhammad SAW, 'Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, karena sesungguhnya dia memandang dengan cahaya Allah.' Saya sama sekali tidak mengetahui makna hadis Nabi tersebut, bahkan para ulama yang telah saya datangi pun demikian."

Tampaknya, ulama yang saleh itu bukan seperti kebanyakan ulama yang telah didatangi Ahli Kitab itu. Beberapa saat setelah pertanyaan itu diajukan, Sang Guru spiritual itu menundukkan kepalanya sejenak, kemudian berkata: "Makna sabda Nabi Rasulullah SAW tadi yaitu potonglah zunnar (selendang yang harus dikenakanan oleh kafir dzimmi yang hidup di zaman Islam; untuk membedakan mereka dengan umat Islam) yang sekarang terikat di dadamu dan keluarlah engkau dari majelis ini!"

Betapa kagetnya sang Ahli Kitab begitu mendengar jawaban itu. Begitu pula dengan para jamaah yang hadir pada pengajian itu. Sebab, Sang Guru tidak hanya menjelaskan hakikat hadis Nabi saja, tetapi sekaligus membongkar rahasia si penanya yang kafir itu. Secara spontan, sang Ahli Kitab tadi segera tersungkur di hadapan ulama arif itu, kemudian menyatakan keislamannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Adapun hadis Nabi SAW yang ia pertanyakan itu memang mengisyaratkan bahwa Allah SWT akan memberi seorang mukmin cahaya sesuai tingkat keimanannya. Dengan nur-Nya itu, dia mampu melihat hakikat segala sesuatu dan tidak tertipu oleh bentuk lahiriahnya. Sebab, pada dasarnya, iman seseorang akan bertambah dengan ketaatan yang ia kerjakan, sebaliknya menjadi berkurang dengan kemaksiatannya.

Oleh karena itu, seorang mukmin tidak boleh mencela orang lain jika ia tidak merasakan kehadiran cahaya Allah tersebut dalam dirinya. Allah berfirman dalam Surat an-Nur ayat 40: "Dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, maka sedikit pun dia tidak memiliki cahaya." Soal mata hati ini, Rasulullah bersabda: "Mintalah fatwa kepada hatimu (nurani), meskipun mereka (ulama) telah memberimu fatwa." Hati nurani yang dimaksud Rasulullah di atas, yakni hati yang bercahaya dan bebas dari belenggu hawa nafsunya.

dikutip dari Republika

Selengkapnya »»

Rabu, 15 Oktober 2008

Penulisan Al-Qur'an Dan Pengumpulannya

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.

Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.

[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12

sumber : almanhaj.or.id




Selengkapnya »»

Selasa, 14 Oktober 2008

Penciptaan Alam Semesta

Asal mula alam semesta digambarkan dalam Al Qur'an pada ayat berikut:

"Dialah pencipta langit dan bumi." (Al Qur'an, 6:101)

Keterangan yang diberikan Al Qur'an ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap. Peristiwa ini, yang dikenal dengan "Big Bang", membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal.


Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.

Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an 1.400 tahun lalu.

Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang. Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan.

Selengkapnya »»

Video Murottal Ahmad Saud








Selengkapnya »»

Download Ebook Islami : Wanita



Download Ebook Risalah Nikah

Indahnya Pernikahan Islami

Darah Kebiasaan Wanita


Silakan klik link diatas untuk download






Selengkapnya »»

Air Mata Rasulullah SAW

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.



Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum --peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."

Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik alaaa wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

NB:
Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita.

Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka. Amin... Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangimu di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu diakhirat.


Selengkapnya »»

Bagaimana Memahami Ayat Allah di Alam

Dalam Alqur'an dinyatakan bahwa orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak mengenali atau tidak menaruh kepedulian akan ayat atau tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-Nya.

Sebaliknya, ciri menonjol pada orang yang beriman adalah kemampuan memahami tanda-tanda dan bukti-bukti kekuasaan sang Pencipta tersebut. Ia mengetahui bahwa semua ini diciptakan tidak dengan sia-sia, dan ia mampu memahami kekuasaan dan kesempurnaan ciptaan Allah di segala penjuru manapun. Pemahaman ini pada akhirnya menghantarkannya pada penyerahan diri, ketundukan dan rasa takut kepada-Nya. Ia adalah termasuk golongan yang berakal, yaitu "…orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali 'Imraan, 3:190-191)


Di banyak ayat dalam Alqur'an, pernyataan seperti, "Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?", "terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal," memberikan penegasan tentang pentingnya memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah telah menciptakan beragam ciptaan yang tak terhitung jumlahnya untuk direnungkan. Segala sesuatu yang kita saksikan dan rasakan di langit, di bumi dan segala sesuatu di antara keduanya adalah perwujudan dari kesempurnaan penciptaan oleh Allah, dan oleh karenanya menjadi bahan yang patut untuk direnungkan. Satu ayat berikut memberikan contoh akan nikmat Allah ini:

"Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. An-Nahl, 16:11)

Marilah kita berpikir sejenak tentang satu saja dari beberapa ciptaan Allah yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni kurma. Sebagaimana diketahui, pohon kurma tumbuh dari sebutir biji di dalam tanah. Berawal dari biji mungil ini, yang berukuran kurang dari satu sentimeter kubik, muncul sebuah pohon besar berukuran panjang 4-5 meter dengan berat ratusan kilogram. Satu-satunya sumber bahan baku yang dapat digunakan oleh biji ini ketika tumbuh dan berkembang membentuk wujud pohon besar ini adalah tanah tempat biji tersebut berada.

Bagaimanakah sebutir biji mengetahui cara membentuk sebatang pohon? Bagaimana ia dapat berpikir untuk menguraikan dan memanfaatkan zat-zat di dalam tanah yang diperlukan untuk pembentukan kayu? Bagaimana ia dapat memperkirakan bentuk dan struktur yang diperlukan dalam membentuk pohon? Pertanyaan yang terakhir ini sangatlah penting, sebab pohon yang pada akhirnya muncul dari biji tersebut bukanlah sekedar kayu gelondongan. Ia adalah makhluk hidup yang kompleks yang memiliki akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah. Akar ini memiliki pembuluh yang mengangkut zat-zat ini dan yang memiliki cabang-cabang yang tersusun rapi sempurna. Seorang manusia akan mengalami kesulitan hanya untuk sekedar menggambar sebatang pohon. Sebaliknya sebutir biji yang tampak sederhana ini mampu membuat wujud yang sungguh sangat kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah.

Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebutir biji ternyata sangatlah cerdas dan pintar, bahkan lebih jenius daripada kita. Atau untuk lebih tepatnya, terdapat kecerdasan mengagumkan dalam apa yang dilakukan oleh biji. Namun, apakah sumber kecerdasan tersebut? Mungkinkah sebutir biji memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa?

Tak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki satu jawaban: biji tersebut telah diciptakan oleh Dzat yang memiliki kemampuan membuat sebatang pohon. Dengan kata lain biji tersebut telah diprogram sejak awal keberadaannya. Semua biji-bijian di muka bumi ini ada dalam pengetahuan Allah dan tumbuh berkembang karena Ilmu-Nya yang tak terbatas. Dalam sebuah ayat disebutkan:

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (QS. Al-An'aam, 6:59).

Dialah Allah yang menciptakan biji-bijian dan menumbuhkannya sebagai tumbuh-tumbuhan baru. Dalam ayat lain Allah menyatakan:

Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (QS. Al-An'aam, 6:95)

Biji hanyalah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diciptakan-Nya di alam semesta. Ketika manusia mulai berpikir tidak hanya menggunakan akal, akan tetapi juga dengan hati mereka, dan kemudian bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana", maka mereka akan sampai pada pemahaman bahwa seluruh alam semesta ini adalah bukti keberadaan dan kekuasaan Allah SWT






Selengkapnya »»

Senin, 13 Oktober 2008

Adab Tilawah (Membaca) Al-Quran

"Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka baginya sepuluh kebaikan. Sedangkan satu kebaikan itu dilipat gandakan hingga sepuluh kali. saya tidak mengatakan alif laam mim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf dan mim juga satu huruf," (HR. Tirmidzi). Itu baru satu kata, lalu bagaimana kalau kita membaca satu juz atau lebih setiap malamnya?

Tentu sudah tak terhitung berapa banyak pahala yang mengalir ke catatan amal kita tanpa kita sadari. Belum lagi kalau saat itu bertepatan dengan malam lailatul qadar. Berarti apa yang kita lakukan pada saat itu sama dengan pahala yang kita peroleh ketika membaca Al-Qur'an selama 83 tahun lebih tanpa henti. Subhanallah. Dan, untuk menyambut datangnya bulan ini, seyogyanya kita memahami adab tilawah, adab membaca Al-Qur'an. Sehingga apa yang kita rencanakan sejak jauh-jauh hari itu bisa tercapai dengan baik.


1 . Membaca dalam keadaan suci dari hadats, menghadap qiblat dan duduk dengan baik

Al-Qur'an bukanlah seperti buku biasa, atau seperti surat kabar harian yang boleh dibaca di mana saja serta dalam keadaan apa pun. Tidak. Al-Qur'an jelas sangat berbeda dengan semua itu. Al-Qur'an merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala sumber hukum. Kitab suci yang terbebas dari perubahan hingga akhir zaman. Sehingga sudah sangat wajar bila kita harus memperlakukannya dengan khusus pula. Didahului dengan berwudlu, sebagai wujud pensucian diri. Lalu dilanjutkan dengan mengambil dan membawanya dengan tangan kanan, sebagai lam bang kebaikan, selanjutnya duduk dengan tenang dan siap untuk membacanya. Demikianlah yang harus dilakukan sebelum membacanya, sehingga Allah berfirman: "Tidak' menyentuhnya kecuali hambahamba yang disucikan". (Al-Waqiah: 79).

2. Membaca dengan tartil (perlahan-lahan)

Seringkali kita mendengar seseorang membaca Al-Qur'an dengan sangat cepat dan terburu-buru. Ia seperti orang yang sedang dikejar hantu. Atau bisa jadi kita juga terpancing untuk membacanya dengan cepat, agar lebih cepat selesai. Padahal membaca dengan cara seperti ini tentu sangat sulit menempatkan huruf pada makhraj yang benar. Terlebih lagi, pandangan mata kita kurang bisa terfokus dengan baik. Akibatnya, kesalahan demi kesalahan akan terus terulang tanpa kita sadari. Kata "Rahiim" yang berarti "Maha Penyayang" misalnya.

Bila mata kita melihat dengan cepat, bisa jadi lidah kita akan keseleo dan akhirnya membaca "Rajiim" yang bermakna "Yang dimurkai", ini kelihatannya sepele, tetapi sebenarnya suatu kesalahan yang sangat fatal karena arti kedua kalimat itu sangat bertolak belakang. Bayangkan, bila kesalahan itu terjadi pada lafadz basmalah, tentu hal ini sangat fatal. Karena itu, Allah berfirman: "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan." (QS. Al-Muzammil: 4).

3. Membacanya dengan khusyu.

Tampakkan kesedihan bila membaca ayat yang menunjukkan ancaman dan siksa. Dan, berseriserilah bila mendengar berita gembira. Itulah nasehat Rasulullah kepada sahabat dan seluruh umat Islam. Sehingga tidak jarang kita menemukan ulama yang menangis tersedu-sedu. "Bacalah AIQur'an dan menangislah karenanya. Bila kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah untuk menangis." (HR. Bukhari dan Muslim). Berpura-pura menangis ini dilakukan ketika membaca Al-Quran send irian. Sedang tidak bersama orang lain. Agar keikhlasan tetap terjaga. Lihatlah! betapa tubuh seorang sahabat yang bernama Uwais al-Qarni menggigil hebat, lalu terjatuh dan pingsan cukup lama setelah membaca membaca firman Allah: "Ha mim. Oemi kitab yang menjelaskan, sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu motam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." Dia membacanya hingga "Kecuali orang-orang yang diberi rahmat Allah. Sesungguhnya Oialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. " (QS. Ad-Dukhan: 1-100).

4. Membacanya dengan suara yang enak didengar.

Bersyukur kepada Allah, bila dikaruniai suara yang merdu dan enak didengar adalah suatu keharusan. Caranya, dengan memanfaatkan kemerduan suara itu untuk membaca Al-Qur'an. Sehingga orang yang mendengar keindahan suara kita semakin tertarik dan ingin belajar membaca Al-Qur'an. Rasulullah SAW bersabda, "Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian." (HR. Bukhari). Tapi bila merasa khawatir akan ria atau sumah, maka bacalah Al-Qur'an dengan suara yang cukup didengar sendiri. "Orang yang membaca Al-Qur 'an dengan keras bagaikan orang yang bershadaqah dengan terang-terangan." (HR. Turmudzi).

5. Membaca dengan tadabur disertai dengan kehadiran hati untuk memahami arti dan rahasianya.

Hal ini sudah sangat jelas dan tidak perlu dibahas lebih jauh bahwaAl-Qur'an bukanlah kitab biasa yang hanya dibaca sambil lalu, tapi ia adalah pedoman hidup yang harus dihayati, bukan sekadar dibaca tanpa tahu makna dan maksudnya. Allah berfirman: 'Apakah mereka tidak merenungkan AI Qur'an." (QS. An-Nisa: 82) Sangat banyak yang bisa direnungkan. Bahkan diri kita juga menjadi obyek perenungan. Misalnya, bersyukurlah karena hidung kita tidak menghadap ke atas, karena kalau itu yang terjadi tentu air akan akan masuk ke dalam hidung setiap kali kita kehujanan atau mandi. Ini adalah contoh yang simpel dari sekian banyak obyek perenungan lainnya "Don (juga) pada dirimu sendiri Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Adz-Dzariyat: 21)

6. Bukan menjadi orang yang tidak menghiraukan apa yang dibaca.

Bersikap apatis dan acuh terhadap apa yang dibaca, tentu bukan sikap yang terpuji. Karena bisa jadi, saat itu kita melaknat diri sendiri. Memang, demikianlah akibatnya bila tingkah laku kita bertentangan dengan apa yang dibaca. "lngatlah! Kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dzalim." (QS. Huud: 18) Dengan demikian tidak ada pilihan lain, belajar bahasa arab merupakan solusi terbaik sehingga kita bisa memahami arti sekaligus penafsiran ulama. Atau setidak-tidaknya merujuk kembali kepada tejemah Al-Qur'an. Di dalam Taurat disebutkan, "Mengapa kamu tidak malu kepada-Ku? Ketika kamu mendapat kiriman surat dari seorang teman, kamu berhenti sejenak dan menyempatkan diri membacanya, huruf demi huruf. Agar kamu bisa memahaminya dengan baik dan tidak ada yang terlewatkan. Dan, inilah kitab yang Aku turunkan kepadamu. Perhatikan! Bagaimana Aku menjelaskan setiap permasalahan dengan terperinci. Dan perhatikan! betapa sering Aku mengulanginya sehingga kamu bisa merenungkannya. Tapi lihatlah! Apa yang kamu lakukan, kamu pun berpaling darinya. Sehingga Aku menjadi kurang bermakna bagimu dibandingkan dengan temanmu.

Wahai hamba-Ku! Bila datang seorang teman mengunjungimu, kamu pun menyambutnya dengan hangat. Kamu memperhatikan dan mendengarkannya dengan seksama. Bila ada orang yang mengganggu pembicaraanmu, kamu pun segera menyuruhnya untuk diam. Dan, inilah sekarangAku datang kepadamu, ingin berbicara denganmu. Tapi apa yang terjadi? Kamu pun berpaling dariku. Mengapa kamu menjadikan Aku lebih tidak bermakna dari seorang temanmu?" Demikianlah beberapa hal yang harus diperhatikan ketika membaca Al-Qur'an, sehingga kita "" tidak membacanya semau kita tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Ini semua agar tilawah kita lebih bermakna dan benar benar beda.****







Selengkapnya »»

Istinja'

Istinja' menurut bahasa artinya terlepas atau selamat, sedangkan menutur Istilah adalah bersuci sesudah buang air besar atau buang air kecil.

Beristinja' hukumnya wajib bagi setiap orang yang baru buang air kecil maupun air besar, baik dengan air ataupun benda kesat selain air (seperti batu, kertas).




Cara beristinja' dapat dilakukan dengan salah satu dari cara berikut :

1. Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran dengan air sampai bersih. Ukuran bersih ini ditentukan oleh keyakinan masing-masing.

2. Membasuh atau membersihkan tempat keluar dengan batu, kemudian dibasuh dan dibersihkan dengan air.

3. Membersihkan tempat keluar kotoran dengan batu atau benda-benda kesat lainnya sampai bersih. Membersihkan tempat keluar kotoran sekurang-kurangnya dengan tiga buah batu atau sebuah batu yang memiliki tiga permukaan sampai bersih.

Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya Nabi SAW melalui dua buah kuburan, kemudian beliau bersabda : Sesungguhnya kedua orang yang berada dalam kubur itu sedang disiksa. Adapun salah seorang dari keduanya sedang disiksa karena mengadu domba orang, sedangkan yang satunya sedang disiksa karena tidak menyucikan kencingnya." (HR. Bukhor dan Muslim).





Selengkapnya »»

Macam-macam dan Najis dan Cara Menghilangkannya

Berkut ini adalah macam-macam najis beserta cara menghilangkannya :
1. Najis Mukhoffafah (ringan)
Yang termasuk dalam najis ringan adalah air kencing anak laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan atau minum sesuatu selain ASI.

Cara menghilangkan najis ringan adalah dengan memercikkan air pada benda yang terkena najis tersebut, sebagaimana sabda Rasul :

"Dibasuh dari kencing anak perempuan dan dipercikkan air dari air kencing anak laki-laki." (HR. Abu Daud dan An-Nasai).


2. Najis Mutawassithoh (sedang)
Yang termasuk kelompok najis ini adalah :

a. Bangkai
Yang dimaksud bangkai adalah binatang yang mati karena tidak disembelih ata disembelih tidak menurut aturan syariat Islam, termasuk bagian tubuh dari hewan yang dipotong ketika masih hidup.

"Diharamkan atas kamu bangkai". (QS. Al-Maidah : 3).

"Segala sesuatu (anggota tubuh) yang dipotong dari binatang yang masih hidup termasuk bangkai". (HR. Abu Daud dan Turmudzi dari Abi Waqid Al-Laitsi).

Bangkai yang tidak termasuk najis adalah ikan dan belalang, keduanya halal untuk dimakan.

b. Darah
Semua macam darah termasuk najis, kecuali darah yang sedikit seperti darah nyamuk yang menempel pada badan atau pakaian maka hal itu dapat dimaafkan.

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi." (QS. Al-Maidah : 3).

c. Nanah
Nanah pada hakikatnya adalah darah yang tidak sehat dan sudah membusuk. Baik nanah ini kental ataupun cair hukumnya adalah najis.

d. Muntah

e. Kotoran manusia dan binatang
Kotoran manusia dan binatang, baik yang keluar dari dubur atau qubul hukumnya najis, kecuali air mani. Walaupun air mani tidak najis tetapi hendaknya dibersihkan.

f. Arak (khamar)
Semua benda yang memabukkan termasuk benda najis, berdasarkan firman Allah :

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan." (QS. Al-Maidah : 90).


Najis mutawashithoh terbagi dua, yaitu :

(1) Najis 'Ainiyah, yaitu najis mutawashitoh yang masih kelihatan wujudnya, warnanya dan baunya. Cara membersihkannya dengan menghilangkan najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang warna, bau dan rasanya.

(2) Najis Hukmiyah, yaitu najis yang diyakini adanya tetapi sudah tidak kelihatan wujudnya, warnanya dan baunya. Contohnya adalah air kencing yang sudah mengering. Cara membersihkannya cukup dengan menggenangi/menyirami air mutlaq pada tempat yang terkena najis hukmiyah tersebut.


3. Najis Mughallazhoh (berat)
Yang termasuk najis ini adalah air liur dan kotoran anjing dan babi. Cara menghilangkan najis mughollazoh adalah dengan menyuci najis tersebut sebanyak tujuh kali dengan air dan salah satunya dengan memakan debu yang suci. Rasulullah SAW bersabda :

"Sucinya tempat dan peralatan salah seorang kaamu, apabila dijilat anjing hendaklah dicuci tujuh kali, salah satunya dengan debu (tanah)." (HR. Muslim dari Abu Hurairah)






Selengkapnya »»

Najis

Pengertian Najis

Najis dalam pandangan syariat Islam yaitu benda yang kotor yang mencegah sahnya suatu ibadah yang menuntut seseorang dalam keadaan suci seperti sholat dan thowaf. Dalam Al-Qur'an perkataan najis disebut juga dengan "rijsun" seperti tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 90 :

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan".

Benda yang kelihatan kotor belum tentu najis, begitu juga sebaliknya. Misalnya, pakaian yang terkena tanah atau debu akan menjadi kotor tetapi tidak najis sehingga sah jika digunakan dalam sholat, tetapi sebaiknya harus dibersihkan terlebih dahulu. Dalam keadaan lain pakaian yang terkena kencing walaupun tidak berbekas lagi hukumnya adalah terkena najis dan tidak sah bila digunakan untuk sholat.







Selengkapnya »»

Thaharoh

Pengertian Thoharoh

Thoharoh secara bahasa artinya bersih, kebersihan atau bersuci. Sedangkan menurut istilah ialah suatu kegiatan bersuci dari hadats dan najis sehingga seseorang diperbolehkan untuk mengerjakan suatu ibadah yang dituntut dalam keadaan suci seperti sholat dan thowaf.

Kegiatan bersuci dari hadats dapat dilakukan dengan berwudhu, tayammum dan mandi, sedangkan bersuci dari najis meliputi mensucikan badan, pakaian dan tempat.

Dalil yang memerintahkan untuk bersuci antara lain :

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri". (Al-Baqarah : 222).

"Dan bersihkanlah pakaianmu dan jauhilah perbuatan yang kotor (dosa). (Al-Muddatstsir : 4 - 5).

"Kebersihan itu sebagian dari iman." (HR. Mulim dari Abu Said Al-Khudri).

"Allah tidak akan menerima sholat seseorang yang tidak bersuci." (HR. Muslim).







Selengkapnya »»

Definisi CINTA Dalam Al Qur’an

Kata cinta dalam Al Qur’an disebut Hubb (mahabbah) dan Wudda (mawaddah), keduanya memiliki arti yang sama yaitu menyukai, senang, menyayangi.

Sebagaimana dalam QS Ali Imron : 14 “Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga).” Dalam ayat ini Hubb adalah suatu naluri yang dimiliki setiap manusia tanpa kecuali baik manusia beriman maupun manusia durjana.

Adapun Wudda dalam QS Maryam : 96 “ Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal sholeh, kelak Allah yang maha pemurah akan menanamkan dalam hati mereka kasih sayang ” jadi Wudda (kasih sayang) diberikan Allah sebagai hadiah atas keimanan, amal sholeh manusia. Dipertegas lagi dalam QS Ar Rum : 21 “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah ia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” Dalam ayat inipun Allah menggambarkan ‘cenderung dan tentram’ yang dapat diraih dengan pernikahan oleh masing-masing pasangan akan diberi hadiah (ja’ala) kasih sayang dan rahmat.

Dalam fil gharibil Qur’an dijelaskan bahwa hubb sebuah cinta yang meluap-luap, bergejolak. Sedangkan Wudda adalah cinta yang berupa angan-angan dan tidak akan terraih oleh manusia kecuali Allah menghendakinya, hanya Allah yang akan memberi cinta Nya kepada hamba yang dkehendakiNya. Allah yang akan mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu belanjakan seluruh kekayaan yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan mendapatkan kebahagiaan cinta jika Allah tidak menghendakiNya. Oleh karena itu terraihnya cinta—wudda pada satu pasangan itu karena kualitas keimanan ruhani pasangan tersebut. Semakin ia mendekatkan diri kepada sang Maha Pemilik Cinta maka akan semakin besarlah wudda yang Allah berikan pada pasangan tersebut.

Cinta inilah yang tidak akan luntur sampai di hari akhir nanti sekalipun maut memisahkannya, cinta yang atas nama Allah, mencintai sesuatu atau seseorang demi dan untuk Allah.






Selengkapnya »»

8 Pengertian Cinta Menurut Qur'an

"Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai'an katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai'an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga :
(1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain,
(2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan
(3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri.

Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Allah SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Allah Swt, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Allah SWT daripada perintah yang lain.



Dalam Qur'an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Cinta mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan "nggemesi". Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.

2. Cinta rahmah Adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur'an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.

3. Cinta mail Adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur'an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.

4. Cinta syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur'an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.

5. Cinta ra'fah, Yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur'an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Cinta shobwah, Yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur'an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33)

7. Cinta syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur'an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur'an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma'tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as'aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa'ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.
Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi

8. Cinta kulfah. Yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur'an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)"






Selengkapnya »»

| Menghidupkan Al Qur'an dan As Sunnah | © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO